Sekilas Tentang HM. Thohir Surakama Sidayu
Masyarakat muslimin wilayah Pantura (Pantai Utara) Kabupaten Gresik, terutama warga Sidayu, tidak akan pernah melupakan nama seorang saudagar kaya , yaitu Almarhum HM. Thohir Surakama dan lebih dikenal dengan nama Mbah Haji Thohir (1844 – 1930).
Beliau adalah seorang pebisnis (pedagang) sukses yang kharismatik. Wibawanya tidak terbatas hanya di kalangan para pedagang di Sidayu saja, akan tetapi meluas sampai pada masyarakat, utamanya di wilayah pantai utara Kabupaten Gresik (Sidayu hingga Paciran/Lamongan). Bahkan di kalangan para pejabat Kadipaten Sidayu (saat itu Sidayu merupakan Kabupaten tersendiri) mereka sangat santun terhadap beliau.
Sidayu pada saat itu merupakan salah satu kota dagang di Pantura Jawa Timur yang cukup ramai, Jalan Daindeles yang melintasi Sidayu, meski tidak semulus sekarang, merupakan urat nadi perekonomian Pantura Jawa di masa itu. Praktis dengan sistem transportasi yang cukup bagus dan lancar didukung dengan sistem drainase air yanga baik, terbukti air mengalir deras dari barat (Desa Golokan) menuju timur dan berakhir di muara sungai Bengawan Solo di Desa Srowo. Ini menunjukkan tata kota yang cukup maju dan berbudaya. Konon sistem drainase ini adalah pendukung infrastruktur pertanian yang juga cukup maju pada saat itu. Sampai-sampai jika HM.Thohir punya hajatan, usai acara berakhir, seluruh perabotan dapur yang kotor cukup dicuci di saluran air di depan rumah beliau (sekarang rumah Keluarga Almarhum H. Manshur Kauman). Ini bukti betapa lebih berbudayanya tata kota Sidayu pada masa itu.
Pekerja Keras yang Dermawan
Pekerja Keras yang Dermawan
Mbah Haji Thohir juga dikenal sebagai pedagang yang punya etos kerja yang sangat tinggi. Sebelum menjadi saudagar kaya, beliau adalah seorang yang melarat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari, beliau mencari klaras (daun pisang yang sudah kering, red) kemudian dijualnya kepada para perajin gerabah di Buyungan (Desa Bunderan). Secara ekonomis nilainya memang tak seberapa, namun karena dilakukan dengan tekun dan ikhlas, maka Allah SWT memberkahinya. Terbukti, pekerjaan yang kelihatan sepele dan sangat sederhana itu ternyata bisa berkembang. Kemudian beliau mencoba untuk berdagang. Sampai akhirnya beliau sukses sebagai pedagang kain.
Konon kalau beliau kulakan kain dari Pasar Pabean Surabaya, karena belum ada jembatan yang melintasi sungai Bengawan Solo, maka barang dagangannya harus diangkut perahu kemudian dibongkar di pelabuhan Tanjung Sari (Desa Randu Boto). Dari Tanjung Sari kemudian diangkut dengan cikar atau pedati menuju Sidayu. Saking banyaknya kain yang dikulak, iring-iringan cikar yang mengangkut dagangan Mbah Haji Thohir kadang sampai ratusan meter saking banyaknya. Kemudian kain- kain tersebut disimpan di gudang depan rumah beliau.
Bisnis beliau adalah mengubah kain putih polos menjadi kain batik dengan cara dicap, dibatik dan diketel, Kain-kain yang telah dicap dan dibatik kemudian dibawa ke Alun – Alun Sidayu (sekarang depan Pegadaian) untuk dijemur supaya kering, baru kemudian dipasarkan ke penjuru kota.
Sebagai saudagar yang berangkat dari orang yang sederhana dan miskin, maka beliau sangat empati terhadap penderitaan kaum miskin. Seringkali pada hari-hari tertentu dengan ditemani salah satu atau beberapa cucunya, menjelang subuh berjalan-jalan keliling Sidayu. Setiap melewai rumah penduduk dan mendengar tangisan anak kecil dengan tangannya sendiri beliau memasukkan uang beberapa keping kebawah pintu rumah. Mungkin terlintas dalam benak beliau, jangan-jangan anak tersebut menangis karena kelaparan.
Terlebih pada setiap Ramadhan (awal-awal Ramadhan), setelah selesai sholat terawih setiap jamaah diberi bingkisan uang dan sarung saat keluar dari pintu masjid. Karena itulah beliau sangat dihormati, dikagumi dan dinanti kedatangannya, sebab setiap beliau datang pasti ada sesuatu yang diberikannya, entah itu berupa uang atau bingkisan.
Tak heran kalau sampai ada cerita, jemuran kain dengan jumlah banyak yang sedang dikeringkan di alun-alun, tiba – tiba hujan mengguyur. Para tetangga sekitar alun-alun maupun masyarakat yang kebetulan lewat serta merta mengusung kain tersebut untuk diselamatkan dirumah penduduk – penduduk sekitar. Betapa mereka (penduduk) merasa ikut memiliki harta kekayaan Mbah Haji Thohir. Karena mereka merasa ikut kecipratan barokah hartanya Mbah Haji Thohir.
Tuan Tanah yang Berhati Lembut dan Bersahaja
Tidak hanya itu Mbah Haji Thohir juga dikenal sebagai seorang tuan tanah. Tanah dan rumah tak terhitung banyaknya. Hampir disetiap sudut Sidayu Mbah Haji Thohir punya tanah pekarangan, sawah dan tegalan. Kebanyakan tanah pekarangannya yang kosong ditanami pohon pisang. Setiap kali ada pisang yang sudah matang tanpa diminta penduduk sekitar yang kebetulan mengetahui langsung ngunduh atau memanen pisang tersebut untuk dihantarkan ke rumah Mbah Haji Thohir. Bahkan saking banyaknya pisang yang diunduh, maka pisang-pisang tersebut dibagikan kepada masyarakat Sidayu secara bergiliran. Hampir bisa dibilang seluruh warga Sidayu menikmati buah pisang Mbah Haji Thohir.
Karena kedermawanannya itu, suatu ketika Mbah Haji Thohir diprotes oleh kalangan berduit warga Sidayu. Penyebabnya cukup aneh. Dimana Mbah Haji Thohir telah menutupi atau memberi semua dana yang dibutuhkan untuk pembangunan masjid, musollah maupun madrasah. Sehingga uang dari kalangan berduit warga Sidayu yang sejatinya sudah diperuntukan amal jariyah untuk pembangunan masjid, musollah atau yang lainnya jadi kurang dibutuhkan. Karena itu Mbah Thohir sempat diboikot dananya, karena warga Sidayu yang berduit juga merasa ingin mendapatkan bagian untuk berjariyah.
Walau sudah menjadi saudagar kaya Mbah Haji Thohir tak lupa asbabul nuzulnya. Kehidupan yang keras dan pahit justru menjadikan hati beliau lembut dan bersahaja. Walaupun harta kekayaannya melimpah ruah, tetap saja beliau rendah hati dan sangat bersahaja. Tidak suka berhidup mewah-mewahan, rumah beliau yang begitu cukup besar cukup diterangi sinar lilin atau lampu teplok. Walaupun waktu itu sudah ada lampu yang cukup canggih, yakni lampu strongking atu lampu petromak.
Suatu ketika, beliau pernah mendapatkan kiriman hadiah dari mitra bisnisnya yang ada di Surabaya, tidak tanggung-tanggung sebuah mobil baru, tapi ditolaknya. Alasannya belum perlu, karena di Sidayu pada saat itu banyak yang punya mobil omprengan, sehingga beliau takut mengurangi order sopir mobil omprengan bila menggunakan mobil pribadi. Itulah Mbah Haji Thohir rasa empatinya terhadap orang miskin begitu besar, sehingga tak slah kalau beliau dicintai, dihormati dan selalu ditunggu kedatangannya oleh masyarakat, utamanya masyarakat miskin.
Wafat dan Dimakamkan di Asempayung
Keistimewaan beliau lainnya adalah, anak, menantu dan cucunya menjadi pemuka masyarakat yang dikenang kebaikannya hingga sekarang. Mbah Thohir Surakama mempunyai seorang istri bernama Lasmini mempunyai 5 (lima) orang anak, yakni Tiani, Shofwan, Ta’rifah, Aminah dan Maudlu’ah. Konon setelah beliau menderita sakit Udunen (bisul), akhirnya ajal pun menjemput. Beliau wafat tanggal 23 Januari 1930 (22 Sya’ban 1248 H) dengan usia 86 tahun (makamnya di Asempayung Sidayu).
Itulah sekilas tentang Mbah Haji Thohir Surakama. Untuk meneladani beliau secara utuh kita pada dzurriyahnya perlu mengadakan kajian, pemahaman dan penghayatan atas kehidupan beliau secara lengkap dan tidak parsial, terutama yang menyangkut sifat, watak, sikap dan perilaku yanga dikatagorikan sebagai manaqib beliau.
Oleh: H. Budi Ahmad S.
Oleh: H. Budi Ahmad S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar